Pada suatu ketika di sore yang sebenarnya tidak benar – benar sore, aku dikagetkan oleh sosok yang pendek, tambun dan berambut ikal. Konon sang do’i dikarunia nama oleh sang Ibu, Jamudin. Nama yang dianggap sangat keren menurut sang ibu kala itu. Jamudin nongkrong asyik di sebuah kedai es tebu favoritnya ...
Pada suatu ketika di sore yang sebenarnya tidak benar – benar sore, aku dikagetkan oleh sosok yang pendek, tambun dan berambut ikal. Konon sang do’i dikarunia nama oleh sang Ibu, Jamudin. Nama yang dianggap sangat keren menurut sang ibu kala itu. Jamudin nongkrong asyik di sebuah kedai es tebu favoritnya dengan muka yang terlampau serius memandangi telepon genggam yang dipegangnya.
“Mas, sudah sarapan pagi – pagi seperti ini sudah lewat di mari?”, seloroh Jamudin kepadaku yang sontak membuatku setengah terkejut. Karena wajahnya yang menunduk itulah mengakibatkan aku celingak – celinguk mencari sumber sapaan. “Iya, sampeyan itu yang saya tanya,” selorohnya lagi karena melihatku yang kebingungan.
“Oalah, kamu toh Din, lah kamu nyapa aku sambil nunduk gitu, mana aku tahu”, balasku rada ketus, “lagian apa hubungannya sudah sarapan dengan lewat sini?”, lanjutku menyerocos. Jamudin sekonyong – konyong bangkit dan memandang wajahku lekat – lekat. “Beuuuh, Mas tau ngga, menurut primbon dari negeri seberang sana, orang yang sudah sarapan itu mampu menembus dimensi kehidupan lapis tiga loh”.
Kepalaku seketika itu rasanya berputar – putar, pusing, antara bathin, otak dan pikiran seolah tidak kunjung sinkron menelaah apa yang baru saja diucapkan Jamudin.
“Mas, Mas, hooiii….. kok malah manyun”.
“Sek toh, Din, aku semakin ngga paham dengan apa yang kamu ucapkan itu loh”.
“Halah Mas, jangan dipikir banget – banget, toh bukan PR. Pikir saja bagaimana caranya melirik kecantikan”.
Nah loh, aku kira Jamudin bakal menjelaskan apa maksud rangkaian – rangkaian kalimatnya itu, lah kok ndilalah malah kepalaku semakin mau pecah.
“Loalah, kok malah tambah bengong, piye toh Mas”.
Aku garuk – garuk kepala sejurus memang rasa gatal yang ikut berkontribusi dalam situasi saat itu gegara empat hari belum keramas sama sekali ditambah bergemuruhnya otakku yang berusaha mencerna puzzle jalanan mahakarya Jamudin.
Jamudin menepuk pinggangku dengan setengah memeluk, dia berbisik. “Mas, punya kaset vidionya JKT porti et yang ada nabila dan sonya-nya dan ehmmm ada cigulnya juga?”.
“Ngga punyalah Din, aku bukan wota, nyari-o di lapak-lapak VCD pinggir – pinggir jalan sana loh”.
“Waduh”. Giliran kini Jamudin yang garuk – garuk kepala.
“Kenapa, Din?”, tanyaku heran padanya.
“Kalau aku beli kaset JKT porti et di lapak – lapak itu biasanya gambarnya ngga jelas, Mas, ngga bisa menikmati level tiga dimensi kehidupan”.
“Halah wong kamu VCD Dangdut aja bajakan gitu kok”, godaku.
“Welah dalah, yang ini harus original mas, biar tidak merendahkan esensi kemurnian hakiki”.
“Lambemu, Din. Ngomongmu semakin ngga jelas, pusing aku dengarnya”
“Nah, jangan sering pusing, Mas. Makanya sering – sering melirik kecantikan”. Jamudin berlalu begitu saja.
Sekitar setelah 100 meter dia berjalan meninggalkan aku, Jamudin balik lagi……
“Ada apa, Din? Sampai lari ngos – ngosan gitu?”
“Cuma mau bilang saja mas, jangan lupa sarapan”.
“&^%$#@*&^$”